Jumat, 26 September 2014

KARAKTERISTIK GUNUNG SALAK

Karakteristik / Typical Gunung Salak

 Karakteristik / Typical Gunung Salak

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) sebagai suatu kawasan
pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, 
pengembangan budidaya, rekreasi, dan pariwisata. Batasan pengertian pemanfaatan taman nasional tersebut berkaitan dengan sektor pelayanan
jasa dan konsep pemanfaatan sumberdaya alam yang berkesinambungan.
Penunjukan taman nasional ini berawal dari Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 hektar sebagai Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) dan Balai TNGH resmi ditetapkan sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis di Departemen Kehutanan pada tanggal 23 Maret 1997. Selanjutnya atas dasar desakan para pihak yag peduli tentang kondisi sumberdaya alam hutan yang semakin terancam rusak dan terdegradasi, kawasan TNGH ditambah dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut, dan kawasan di sekitarnya.Kawasan hutan ini sebelumnya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani kemudian diubah fungsinya menjadi hutan konservasi, dalam suatu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 dengan
luas total 113.357 hektar (Suara Pembaharuan, 2002).

Di dalam kawasan TNGHS yang cukup luas mencakup tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi,
dan Kabupaten Bogor terdapat potensi biologi, ekologi, dan geologi yang dipandang sangat berharga dan menentukan bagi perkembangan wilayah sekitarnya. Di samping itu terdapat pula daerah enclave, baik perkebunan maupun lahan garapan pertanian dan pemukiman.Enclave perkebunan yang ada contohnya adalah Perkebunan Teh Nirmala dan Cianten, sedangkan lahan garapan pertanian umumnya berupa sawah dan ladang yang dimiliki oleh masyarakat Kasepuhan seperti Kasepuhan Citorek.

Potensi biologi, ekologi, dan geologi di dalam kawasan TNGHS menarik minat masyarakat untuk merambah kawasan dan melalukan perburuan liar yang merupakan isu strategis berkaitan dengan kurangnya lahan garapan sebagai pendukung kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani serta berpendidikan kurang memadai ataupun terbatasnya jenis mata pencaharian yang ada di desa. Di samping itu potensi tersebut juga diharapkan dapat dikelola oleh Pemda untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperluas pembangunan. Tujuan penelitian adalah mengamati potensi biologi,ekologi, dan geologi kawasan yang mendukung sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, baik yang terdapat di dalam kawasan maupun di daerah penyangga TNGHS melalui identifikasi karakteristik masyarakat, teknik pengelolaan lahan, tingkat pemanfaatan, dan persepsi masyarakat. 

"Manusia cuma bisa menjejak puncak, tapi tak pernah bisa menaklukan gunung." (Gasten Rebuffat- The Great Alpinist/ ahli mountaineering, 1921-1985, Prancis) Tulisan ini tertera pada sebuah papan yang ditempel di sebuah pohon di jalur pendakian Gunung Salak, Jawa Barat. Kalimat ini seolah mengingatkan para pendaki untuk tidak berlaku pongah dan sombong karena telah menjejakkan kaki di puncak gunung.
 
Alam tak pernah takluk meski jutaan manusia telah menjamahnya. Sebaliknya, manusia yang seharusnya bersyukur karena telah diberi penghidupan oleh alam, dan diberi kesempatan menikmati ciptaan Ilahi. Bukan tanpa alasan papan tersebut dipasang di jalur pendakian Gunung Salak. Berbagai peristiwa yang terjadi di gunung yang memiliki tiga puncak ini menjadi pembuktian bahwa alam tak pernah dapat sepenuhnya ditaklukkan manusia.
 

Daftar panjang pendaki yang hilang, dan pesawat jatuh merupakan beberapa isyarat untuk tidak pernah meremehkan alam. Belum lagi legenda yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, raja terakhir Kerajaaan Padjadjaran.
Sebagian masyarakat Tatar Sunda meyakini Prabu Siliwangi beserta Kerajaan Padjadjaran dan prajuritnya menghilang secara misterius di Gunung Salak setelah terdesak pengaruh Islam yang disebarkan anaknya sendiri, Kian Santang.
 
Terlepas berbagai peristiwa yang hingga kini masih misterius itu, Gunung Salak yang terletak di perbatasan Sukabumi dan Bogor ini masih memiliki pesona dengan banyaknya air terjun alami yang seolah mengelilingi gunung ini. Terdapat Curug Cigamea, Curug Seribu, Curug Ngumpet, Curug Pangeran, Curug Nangka, Curug Luhur, dan lainnya.
 
Selain itu sebagai gunung api strato tipe A, Gunung Salak memiliki sebuah kawah dengan luas yang cukup besar bernama Kawah Ratu. Deru suara uap, asap yang terus mengepul, bau belerang yang menyengat, dan pepohonan yang mengering menandakan kawah yang berada di pinggang Gunung Salak ini masih aktif. Untuk menegaskan hal itu, beberapa papan dipasang oleh petugas Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai peringatan kepada pengunjung akan bahaya menghirup gas yang dikeluarkan karena dapat menyebabkan kematian.
 
Meski demikian, puluhan hingga ratusan orang setiap harinya mengunjungi kawah yang berada di ketinggian 1.437 mdpl ini. Sekadar untuk menikmati keindahan pemandangan dan aktifitas geologi di Kawah Ratu, atau melintasi kawah ini saat mendaki ke Puncak Salak. Bahkan, pada hari-hari tertentu seperti akhir pekan, beberapa pengunjung ada yang nekat mendirikan tenda dengan jarak sekitar 100 meter dari area kawah. Untuk sampai area Kawah Ratu yang masih berada di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, pengunjung dapat beristirahat dengan mendirikan tenda atau menyewa penginapan di Desa Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor sebelum memulai pendakian melalui Gerbang Gunung Bunder atau naik melalui gerbang di Desa Pasir Reungit.
 
Dengan jarak sekitar 5 km Gunung Bunder menuju Kawah Ratu dapat ditempuh sekitar 3 jam bagi yang terbiasa mendaki. Sedangkan jika melalui Pasir Reungit dengan jarak sekitar 3,6 km, Kawah Ratu dapat ditempuh sekitar 2 jam.
Sementara jika melalui Sukabumi, jalur pendakian dapat dimulai dari Bumi Perkemahan Cangkuang, Cidahu dengan jarak sekitar 4,5 km. Puncak Salak I dengan ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut (m.dpl) lebih rendah dibanding tetangganya Gunung Gede (2.958 m.dpl) atau Gunung Pangrango (3.019 m.dpl), namun Gunung Salak dikenal sebagai gunung yang memiliki karakter jalur lebih terjal dengan pepohonan yang rapat.
Hutan lebat yang menutupi tubuh gunung membuat kontur tidak mudah terlihat. Jalur yang terjal dengan dipenuhi bebatuan membuat jalur menuju Kawah Ratu sulit dilalui terutama jika hujan turun. Medan yang cukup sulit ini justru membuat Gunung Salak kerap menjadi lokasi pelatihan dan pendidikan kelompok-kelompok pecinta alam. Semua kesulitan dan cerita mengenai gunung yang namanya berasal dari kata Salaka atau perak dalam bahasa Sanskerta ini tak terasa begitu menapaki jalur pendakian.
 
Melalui gerbang Pasir Reungit, sepanjang jalur pendakian, pengunjung akan disuguhi hijaunya pepohonan, beningnya Sungai Cikuluwung dan suara kawanan burung penghuni Gunung Salak.
Setelah perjalanan sekitar satu jam lebih, aroma belereng mulai tercium. Bau belereng yang semakin menyengat menandakan pengunjung harus mulai menggunakan masker karena akan tiba di Kawah Mati I dan Kawah Mati II, sebelum akhirnya tiba di Kawah Ratu sekitar setengah jam kemudian. Sesampainya di Kawah Ratu, rasa lelah melewati jalanan terjal yang terkadang licin terbayar tuntas. Namun gas berbahaya yang dihasilkan membuat pengunjung tak dapat berlama-lama menikmati fenomena alam yang menakjubkan ini.
 
Dari Kawah Ratu, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan menuju Puncak Salak I dengan waktu tempuh sekitar 3 jam, dan kembali ke Gunung Bunder atau ke Cidahu, Sukabumi. Apapun pilihannya, pendaki harus selalu mengingat perjalanannya bukan untuk menaklukkan alam, tetapi menikmati dan mensyukuri karunia-Nya.

Rabu, 24 September 2014

KARAKTERISTIK GUNUNG GEDE - PANGRANGO

KARAKTERISTIK/TYPICAL GUNUNG GEDE-PANGRANGO :


Saya yakin sudah ratusan ribu pendaki gunung yang pernah mendaki gunung gede-pangrango. Begitu pun sudah belasan pendaki yang mengalami naas yang berakibat fatal yakni meninggal dunia di dua gunung kembar ini. Berdasarkan rekapitulasi pendakian , sejak tahun 1980 s/d 2004 tercatat sebanyak 145 ribuan pendaki yang pernah mendaki ke gunung gede-pangrango.

Namun masih sedikit pendaki gunung/penjelajah dan penggiat alam bebas yang mengenal lebih dekat bagaimanakah sesungguhnya karakteristik dari Gunung Gede-Pangrango? …Mari kita coba mengenal dan mengakrabkan diri dengan ke dua gunung ini. Karena dengan kita lebih memahami dan mengenal lebih jauh lagi tentang ke dua gunung ini akan banyak manfaatnya bagi kita semua dan bagi kelanjutan kehidupan ekologi dan ekositem secara berkesinambungan . Baik bagi keselamatan dan kenikmatan pendakian, atau untuk mendalami ilmu pengetahuan (botani, biologi, geologi, geodosi, kegunung apian atau vulkanologi dan konservasi), fotografi dll. Atau hanya untuk sekedar memperkaya wawasan individu.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Dengan luas 21.975 hektare, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan, hanya berjarak 100 km dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGP, dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah.

 Pohon RASAMALA
Owa JAWA
LUTUNG
ELANG JAWA

Iklim dan jenis tanah di kawasan TNGP memberi pengaruh terhadap kondisi kehidupan tumbuhan di TNGP.

Kawasan Gunung Gede dan Pangrango merupakan kawasan yang terbasah di pulau Jawa, and sebagai konsekwensinya hutan di kawasan ini sangat kaya dengan beranekaragam jenis flora. Bulan Desember – Maret merupakan bulan terbasah, dimana hujan turun hampir setiap hari. Tetapi antara Bulan Maret sampai September merupakan musim kering/kemarau, daun-daun kering banyak berjatuhan dan potensial untuk menyebabkan kebakaran, namun kelembaban lingkungan mikro hutan dan tanah mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap hijau dan bertumbuh. Pada bagian pegunungan, temperatur udara semakin turun dan hutan sekitarnya sering ditutupi kabut, dan kelembaban udara yang rendah di daerah ini merupakan habitat ideal bagi tumbuhan pemanjat dan lumut.

Pada daerah yang lebih tinggi ketersedian dan kondisi udara semakin sedikit dan menipis, dan kelembaban makin rendah, serta ketersediaan nutrisi tanah juga sedikit. Hal ini menyebabkan keanekaragaman jenis tumbuhan semakin rendah dan struktur hutan sudah tidak lengkap, tidak ada pohon tinggi. Ahli ekologi membuat klasifikasi ekosistem hutan di TNGP kedalam 3 tipe vegetasi berdasarkan ketinggian yaitu:

Montana Bawah / sub-montana
(1,000-1,500 m d.p.l.)

Montana (1,500-2,400 m d.p.l.)

Sub - Alpin (2,400-3,019 m d.p.l)

Hutan Montana Bawah / sub - montana

Tipe vegetasi ini dapat ditemukan saat mulai memasuki kawasan TNGP. Terdapat jenis-jenis satwa dan tumbuhan pada hutan tipe ini, termasuk Owa Jawa dan si pohon raksasa Rasamala, yang merupakan jenis satwa dan tumbuhan yang habitatnya pada tipe hutan ini. Hal ini disebabkan karena tipe hutan ini mempunyai jenis vegetasi yang merupakan campuran antara vegetasi hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sehingga seringkali disebut sebagai ekosistem sub montana.

Kondisi tanah di hutan montana dataran rendah biasanya dalam, basah, dan kaya dengan bahan-bahan organik dan partikel tanah yang subur seperti tanah liat, karena itu, pohon-pohon di hutan montana tumbuh lebih besar dan tinggi. Pohon-pohon dominan di hutan montana adalah saninten, dan kayu pasang dari famili FAGACEA.

Hutan Montana

Zona ini disebut juga ”Hutan Pegunungan Atas”, berada pada ketinggian 1500 – 2400 m dpl. Ekoton antara vegetasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas biasanya sangat jelas. Ada suatu perbedaan jelas yaitu: pohon-pohon agak semakin jarang sehingga mudah melihat ke dalam hutan, karena pandangan kita tidak terhalang oleh vegetasi bawah. Pendaki yang berhenti untuk istirahat seringkali merasa lebih dingin. Kebanyakan tumbuhan yang tumbuh pada ketinggian ini merupakan jenis tumbuhan pegunungan sejati, hidup pada kondisi iklim sedang.

Tajuk pohon di hutan pegunungan biasanya memiliki ketinggian yang sama, yaitu 20 meter, percabangan pohon lebih pendek dari cabang pohon di hutan sub montana. Pohon besar dan sangat tinggi sangat jarang, karena perakaran. Daun-daun umumnya kecil. Herba yang umumnya ditemukan di lantai hutan termasuk jenis yang digunakan sebagai tanaman hias yaitu Begonia, Impatiens dan Lobelia.

Hutan Sub - Alpin

Hutan di zona sub alpin hanya terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan pohon-pohon kerdil, rapat dengan batang pohon yang kecil, dan lantai hutan dengan tumbuhan bawah yang jarang. Hanya ditemukan sedikit jenis vegetasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan yang beriklim ekstrim, hal ini barangkali terkait dengan kondisi tanah yang miskin hara dengan jenis tanah berbatu (litosol).

Jenis pohon yang dominan di hutan ini adalah cantigi (Vaccinium varingiaefolium), dari keluarga ERICACEAE, dan dapat dengan mudah dijumpai disepanjang jalan setapak menuju kawah. Mirip dengan famili jenis Cantigi yang asal Eropa yaitu bilberry, cantigi juga mempunyai buah berry yang bisa dimakan. Daun cantigi muda juga mempunyai warna menarik yaitu merah bersinar yang memperindah hutan pegunungan, seperti halnya pohon puspa. Warna daun muda yang merah kemungkinan merupakan upaya tumbuhan untuk melawan sinar ultraviolet yang sangat ektrim.

Bila kita jeli dalam pengamatan dan dengan keteletian kita bisa menemukan bunga putih kecil Argostemma montanum di lantai hutan hutan subpegunungan. Rasamala, yang muncul dari hutan Impatiens javanesisatas: karena kelembaban tinggi, banyak epifit yang tumbuh di pohon –pohon seperti bunga Lobelia Montana.

Bunga Edelweiss Jawa ( Anaphalis Javanica Sp) dapat kita temukan di sebagian besar di sekitar kawah Gunung. Gede dan Alun-alun Suryakencana atau di radius puncak gunung Pangrango dan di lembah Mandalawangi nya. Selain itu kita bakal melihata bentuk kurcaci pohon sub-alpine yakni tumbuhan/tanaman cantigi yang bunga dan buahnya dapat dimakan . Daun muda memiliki rasa asam dan juga dimakan.

Alun-alun SURYA KENCNA

Cantigi atau Manis Rejo (Vaccinium varingiaefolium) adalah jenis tumbuhan yang menyusun tipe ekosistem pegunungan atas dan sebagian di tipe ekosistem sub alpin, jenis tanaman ini mempunyai kenampakan merah, dan mempunyai daun yang berlilin, formasi tumbuhan ini cukup indah, akan tetapi jarang sekali dapat dilihat jenis tumbuhan ini terlihat mengumpul.

Jenis-jenis Anggrek di Gunung Gede-Pangrango

Terdapat lebih dari 200 jenis anggrek di kawasan TNGP; beberapa diantara merupakan jenis anggrek berbunga besar dan sangat indah, namun kebanyakan anggrek di TNGP merupakan jenis anggrek tanah dan kecil serta sangat sulit ditemukan. Kebanyakan anggrek pegunungan hanya tumbuh pada lingkungan yang basah dan lembab.

Trichoglottis pusilla: merupakan anggrek dengan bunga bearoma wangi, hidup di dataran rendah hutan pegunungan. Jenis ini hanya tumbuh pada ketinggian antara 1500 – 1700 m dpl. Juga ditemukan di Sumatera.

Trichoglottis pusilla

Cymbidium lancifolium: termasuk anggrek yang anggota Genus ini tersebar di Asia; Jenis-jenis anggrek dari genus ini tersebar mulai dari Indonesia sampai Jepang, dan didalam kawasan TNGP hidup di hutan hujan pegunungan rendah

Cymbidium lancifolium

Dendrobium hasseltii: Jenis anggrek yang habitatnya di ketinggian, dan nama anggrek ini ”hasseltii” merupakan nama peneliti yang menemukannnya di Gunung Pangrango.

Dendrobium hasseltii

Topografi
Kawasan Konservasi TN Gunung Gede-Pangrango terdiri dari beberapa gunung, yaitu Gunung Pangrango (3.019 m), Gede (2.958 m), Gumuruh (2.929 m), Masigit (2.500 m), Lingkung (2.100 m), Mandalawangi (2.044 m) dan beberapa gunung kecil lainnya.

Dibeberapa tempat bertopografi landai sampai datar, misalnya Alun-alun Surya kencana (50 Ha) yang terletak dikomplek Puncak Gede, Alun-alun Mandalawangi (5 Ha) di puncak Pangrango dan di komplek Danau situgunung(15 Ha). Ketinggian tempat berfariasi : mulai 800 meter sampai 3.019 meter di atas permukaan laut.

Iklim

Ada dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober dan musim penghujan dari bulan Nopember ke April.

Selama bulan Januari sampai Februari, hujan turun disertai angin yang kencang dan terjadi cukup sering, sehingga berbahaya untuk pendakian. Hujan juga turun ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGP memiliki curah hujan rata-rata pertahun 4000 mm.
Rata-rata suhu di Cibodas 23 °C, dan puncak tertinggi berada pada >3000 m dpl.

Pengelolaan Kawasan

TNGP merupakan salah satu dari 5 taman nasional yang dideklarasi oleh Pemerintah Indonesia tahun 1980, di tahun 2007 sudah 50 taman nasional dibentuk oleh Pemerintah di seluruh Indonesia. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya di Indonesia, pengelolaan kawasan TNGP merupakan tanggungjawab dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.

Secara administratif, kawasan TNGP berada di 3 kabupaten (Bogor, Cianjur dan Sukabumi) Provinsi Jawa Barat. Kantor pengelola yaitu Balai TNGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I di Selabintana, SKW II di Bogor, dan SKW III di Cianjur, dan 13 resort pengelolaan dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan hutan yang berkelanjutan.

POTENSI BIOTIK

Flora

Secara keseluruhan kawasan TN Gunung Gede Pangrango termasuk formasi hutan hujan tropis pegunungan dengan tiga asosiasi hutan yang utama yaitu asosiasi puspa, asosiasi puspa-jamuju serta sosiasi hutan cantigi. Namun demikian di samping tiga asosiasi hutan tersebut, terdapat beberapa asosiasi hutan lain yang sifatnya lokal.

Apabila dilihat dari jenis-jenis pohon yang mendominasi di setiap ketinggian tempat, maka dapat dikelompokkan menjadi zona-zona sebagai berikut:

ZONA SUB - MONTANA (800-1.400 meter) ditandai dengan tiga lapisan tajuk yang didominasi oleh rasamala (altingia excelsa) yang tinggi pohonnya dapat mencapai 60 meter dan Castanopsis aegntea, Antidesma tetrandum dan litsea Sp. Dan semak-semak (Ardisia fulginosa dan Dichera febrifuga).

Selain itu banyak jenis tumbuhan bawah, epifit dan lumut, di antaranya dapat di jumpai begonia, paku-pakuan,anggrek dan lumut merah (Sphagnum gedeanum). Salah satu yang mudah dikenali adalah jenis dari paku-pakuan (Asplenium nidus) yang berdiameter dapat mencapai 2 meter

ZONA MONTANA (1.400-2.400 meter) : memiliki beberapa jenis yang mudah dikenali yaitu: puspa (scima wallichii), jamuju (podocarpus imbricatus), dan kijebung (polyosma illifocia).

ZONA SUB - ALPIN (di atas 2.400 meter) : ditandai adanya dominasi jenis cantigi (Vaccinium varingiaefolium) dan bahkan merupakan vegetasi tunggal di daerah kawah. Tumbuhan lainnya yang terdapat di zona ini adalah bunga edelwis (anaphalis javanica) yang oleh para pencinta alam disebut bunga abadi karena bunganya separti tidak pernah layu.

Berdasarkan hasil surfey yang dilaksanakan pada tahun 199, dilaporkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Taman Nasional ini, jumlahnya makin menurun dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut. Pada zona Sub Montana terdapat 249 jenis flora, zona Montana terdapat 185 jenis dan di zona Sub Alpin hanya terdapat 36 jenis.

Fauna

Tingginya nilai keaneragaman jenis tumbuhan di TN ini disebabkan adanya curah hujan yang tinggi, sinar matahari yang cukup, keadaan topografi yang bergunung-gunung, keadaan tanahnya yang subur dan faktor lainnya yang mendukung, maka hidup dan berkembang biaklah berbagai jenis satwa. Satwa tersebut meliputi mamalia, burung (aves), serangga (insekta), binatang melata (reptilia), binatang yang hidup diair dan didarat (amphibia), dan beberapa jenis binatang air.

Burung yang hidup di TN Gede Pangrango : Terdapat sekitar 250 jenis atau lebih dari 50% jenis burung yang ada di pulau jawa . Beberapa jenis yang mudah dijumpai diantaranya adalah : elang jawa (Spizaetus bartelsi), tukung tumpuk (Megalaina corvina), burung kipas (Rhipidura phoenicura), burung kuda (Garulax rutriforn), berecet (Alcippe phychoptera), srigunting (Dicrurus remifer), sepah (Perirotus miniatus), cingcoang (Myomela diora), jarak hutan (Herpactes reinwardtii) dan cicakopi (Pomatorhinus montanus).

  burung kipas (Rhipidura phoenicura)

  cingcoang (Myomela diora)

 srigunting (Dicrurus remifer)

sepah (Perirotus miniatus)

Beberapa jenis satwa liar tergolong langka yang ada di kawasan hutan gunung Gede Pangrango diantarany adalah : macan tutul ( Panthera pardus), anjing hutan (Ciuon palnus), trenggiling (Manis javanica), kancil (Tragulus javanicus) dan kijang (Muntiakus muntjak).
 macan tutul ( Panthera pardus)

anjing hutan (Ciuon palnus)

Empat primata yang kadang terdengar suaranya adalah : owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachypitechus auratus) dan kera abu-abu (Macaca fascicularis). Owa dan surili adalah satwa endemik dan dilindungi undang-undang.

Beberapa jenis kupu-kupu juga terdapat di TN Gede Pangrango. Cacing sonari, sejenis cacing besar yang panjangnya bisa mencapai 60 cm. Juga terdapat dan sering terdenger suaranya yang mendengung cukup keras.


Cacing sonari

POTENSI WISATA ALAM & PETUALANGAN /PENDAKIAN

Kegiatan wisata dan petualangan alam bebas yang dapat dilakukan antaranya adalah untuk berolahraga jalan kaki, mendaki, berkemah, memotret, menyaksikan dan menikmati keindahan alam, mengagumi gejala-gejala alam yang ada, di antara lain yaitu :

Telaga Biru: terletak 1,5 km. Dari pintu masuk cibodas. Disebut telaga biru kencana airnya dapat terlihat berwarna biru yang disebabkan oleh jenis ganggang biru yang hidup didalamnya. Warna biru akan lebih jelas terlihat apabila permukaan air telaga tersinar matahari.

 Telaga Biru
 Rawa Gayonggong : terletak 1,8 Km Dari pintu masuk Cibodas. Rawa mengandung belerang dengan latar belakang hutan pegunungan yang terdapat pada ketinggian 1.400 meter itu, merupakan pemandangan unik yang eksotis serta langka ditemui.
  Rawa Gayonggong
Air Terjun : air terjun Cibeureum terletak 2,5 Km dari pintu masuk Cibodas. Dilokasi air terjun ini terdapat dua buah air terjun lainnya yang lebih kecil yaitu : air terjun cikundul dan cidendeng. Disisi sebelah kanan dari air terjun Cibeurem terdapat limut merah (spagnum gedeanum) yang tidak dapat diketemukan di lokasi lain. Air terjun ini merupakan air terjun tertingggi yang dapat di kunjungi oleh wisatawan. Air terjun curug Sawer terletak 2 km dari pintu masuk taman wisata Alam Situ Gunung. Umumnya air terjun ini merupakan tujuan awal dari kunjungan wisatawan, baru kemudian menuju ke telaga untuk bersantai sambil menikmati kesejukan udara dan indahnya panorama yang ada.
 air terjun Cibeureum
Air panas : terletak 5,2 km dari pintu masuk cibodas, diketinggian 2150 m. Dpl. Tidak jauh dari tempat berkemah Kandang Batu. Para pendaki biasanya menyempatkan diri mandi di mata air panas tersebut sambil beristirahat, sebelum melanjutkan perjalanannya.
 Air panas

Kawah Gunung Gede : Kawah Gunung Gede berjarak 8,9 km dari pintu masuk Cibodas. Sejauh 500 meter mendekati puncak, merupakan daerah yang gersang sebagai akibat letusan gunung yang pernah terjadi. Di daerah ini tidak terdapat pepohonan dan rerumputan hanya tumbuh menyebar di beberapa tempat. Kawah Gunung Gede masih aktif dan secara periodik mengeluarkan gas-gas yang berbau belerang. Terdapat tiga buah kawah dalam satu kompleks yang berdekatan,yaitu : Kawah Ratu yang paling besar,Kawah Lanang dan Kawah Wadon.
 Kawah Ratu

Kawah Lanang

  Kawah Wadon

Alun-alun suryakencana : Pada ketinggian 2.750 meter,antara Gunung Gede dan Gunung Gemuruh, terdapat daerah datar dengan panjang 1.500 meter dan lebar 250 meter. Lokasi ini berjarak 10,2 km dari pintu masuk Cibodas dan 6,9 km dari pintu masuk gunung putri. Di daerah tersebut banyak ditemukan bunga edelweiss (anaphalis javanica sp) yang betebaran memutih memenuhi luasnya alun-alun.Dibeberapa tempat, pohon bunga edelwis dapat mencapai tinggi 4 - 8 meter. Di alun-alun Suryakencana disediakan tempat berkemah untuk kapasitas 50 tenda.

Alun-alun suryakencana & tempat berkemah

Alun-alun Pangrango : terletak dilereng gunung Pangrango. Seperti alun-alun Suryakencana, lapangan ini banyak ditumbuhi bunga edelwis tetpi luasnya lebih kecil daripada alun-alun Suryakencana.

Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa

Javan Gibbon Center (JGC) berdiri sejak tahun 2003, berlokasi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lembaga ini merupakan kerjasama antara PHKA-Departemen Kehutanan RI dan Yayasan Owa Jawa yang didukung oleh Conservation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Universitas Indonesia dan Silvery Gibbon Project (SGP).

JGC merawat Owa Jawa dari hasil sitaan dan penyerahan sukarela dari masyarakat. Tujuan keberadaan JGC adalah untuk merehabilitasi Owa Jawa eks-peliharaan, mengembalikan kondisi fisik, kesehatan, perilaku pada masa rehabilitasi dan melepasliarkan kembali pasangan Owa Jawa yang telah siap kedalam kawasan-kawasan hutan yang sesuai berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.

Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan jenis primata arboreal yang tinggal di hutan tropis, makanannya berupa buah, daun dan serangga. Satu keluarga Owa Jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Owa jawa merupakan satwa endemik pulau Jawa. Dalam daftar satwa terancam mereka termasuk kategori kritis (IUCN,2004). Ancaman bagi mereka di dalam adalah kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan. Beberapa hasil survey perkiraan populasi mereka di alam tersisa lebih kurang 4000 individu. Populasi kecil yang tersisa di alam dan terisolasi membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan.



Sarana dan Prasarana

Fasilitas untuk para wisatawan yang senang melakukan kegiatan wisata alam di kawasan TN Gunung Gede Pangrango cukup tersedia. Di pintu masuk Cibodas terdapat Wisma Cinta Alam dan Pusat Informasi.
Jalan setapak dengan lebar antara 1 - 1,5 meter yang telah diperkeras dengan batu, menghubungkan Cibodas, Gunung Putri, Selabintana dan obyek - obyek lainnya.

AKSESIBILITAS

TN Gunung Gede Pangrango dapat dicapai melalui empat pintu masuk yaitu Cibodas dan Gunung Putri (Kabupaten Cianjur) serta Salabintana dan Situgunung (Kabupaten Sukabumi). Pintu masuk Cibodas merupakan pintu utama dan terletak dekat kantor Taman Naional. Dapat ditempuh dengan mobil; jarak dari Jakarta 100 Km atau dapat ditempuh dengan waktu 2,5 jam dan dari Bandung ditempuh selama 2 jam. Pintu masuk Gunung Putri yang agak berdekatan dengan Cibodas dan Pacet. Pintu masuk Situgunung berjarak 15 Km dari Cisaat, Sukabumi.


Sumber:http://kpa-indonesia.blogspot.com