:
Saya yakin sudah ratusan ribu pendaki gunung yang pernah mendaki gunung gede-pangrango. Begitu pun sudah belasan pendaki yang mengalami naas yang berakibat fatal yakni meninggal dunia di dua gunung kembar ini. Berdasarkan rekapitulasi pendakian , sejak tahun 1980 s/d 2004 tercatat sebanyak 145 ribuan pendaki yang pernah mendaki ke gunung gede-pangrango.
Namun masih sedikit pendaki gunung/penjelajah dan penggiat alam bebas yang mengenal lebih dekat bagaimanakah sesungguhnya karakteristik dari Gunung Gede-Pangrango? …Mari kita coba mengenal dan mengakrabkan diri dengan ke dua gunung ini. Karena dengan kita lebih memahami dan mengenal lebih jauh lagi tentang ke dua gunung ini akan banyak manfaatnya bagi kita semua dan bagi kelanjutan kehidupan ekologi dan ekositem secara berkesinambungan . Baik bagi keselamatan dan kenikmatan pendakian, atau untuk mendalami ilmu pengetahuan (botani, biologi, geologi, geodosi, kegunung apian atau vulkanologi dan konservasi), fotografi dll. Atau hanya untuk sekedar memperkaya wawasan individu.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Dengan luas 21.975 hektare, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan, hanya berjarak 100 km dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGP, dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah.
Iklim dan jenis tanah di kawasan TNGP memberi pengaruh terhadap kondisi kehidupan tumbuhan di TNGP.
Kawasan Gunung Gede dan Pangrango merupakan kawasan yang terbasah di pulau Jawa, and sebagai konsekwensinya hutan di kawasan ini sangat kaya dengan beranekaragam jenis flora. Bulan Desember – Maret merupakan bulan terbasah, dimana hujan turun hampir setiap hari. Tetapi antara Bulan Maret sampai September merupakan musim kering/kemarau, daun-daun kering banyak berjatuhan dan potensial untuk menyebabkan kebakaran, namun kelembaban lingkungan mikro hutan dan tanah mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap hijau dan bertumbuh. Pada bagian pegunungan, temperatur udara semakin turun dan hutan sekitarnya sering ditutupi kabut, dan kelembaban udara yang rendah di daerah ini merupakan habitat ideal bagi tumbuhan pemanjat dan lumut.
Pada daerah yang lebih tinggi ketersedian dan kondisi udara semakin sedikit dan menipis, dan kelembaban makin rendah, serta ketersediaan nutrisi tanah juga sedikit. Hal ini menyebabkan keanekaragaman jenis tumbuhan semakin rendah dan struktur hutan sudah tidak lengkap, tidak ada pohon tinggi. Ahli ekologi membuat klasifikasi ekosistem hutan di TNGP kedalam 3 tipe vegetasi berdasarkan ketinggian yaitu:
Montana Bawah / sub-montana
(1,000-1,500 m d.p.l.)
Montana (1,500-2,400 m d.p.l.)
Sub - Alpin (2,400-3,019 m d.p.l)
Hutan Montana Bawah / sub - montana
Tipe vegetasi ini dapat ditemukan saat mulai memasuki kawasan TNGP. Terdapat jenis-jenis satwa dan tumbuhan pada hutan tipe ini, termasuk Owa Jawa dan si pohon raksasa Rasamala, yang merupakan jenis satwa dan tumbuhan yang habitatnya pada tipe hutan ini. Hal ini disebabkan karena tipe hutan ini mempunyai jenis vegetasi yang merupakan campuran antara vegetasi hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sehingga seringkali disebut sebagai ekosistem sub montana.
Kondisi tanah di hutan montana dataran rendah biasanya dalam, basah, dan kaya dengan bahan-bahan organik dan partikel tanah yang subur seperti tanah liat, karena itu, pohon-pohon di hutan montana tumbuh lebih besar dan tinggi. Pohon-pohon dominan di hutan montana adalah saninten, dan kayu pasang dari famili FAGACEA.
Hutan Montana
Zona ini disebut juga ”Hutan Pegunungan Atas”, berada pada ketinggian 1500 – 2400 m dpl. Ekoton antara vegetasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas biasanya sangat jelas. Ada suatu perbedaan jelas yaitu: pohon-pohon agak semakin jarang sehingga mudah melihat ke dalam hutan, karena pandangan kita tidak terhalang oleh vegetasi bawah. Pendaki yang berhenti untuk istirahat seringkali merasa lebih dingin. Kebanyakan tumbuhan yang tumbuh pada ketinggian ini merupakan jenis tumbuhan pegunungan sejati, hidup pada kondisi iklim sedang.
Tajuk pohon di hutan pegunungan biasanya memiliki ketinggian yang sama, yaitu 20 meter, percabangan pohon lebih pendek dari cabang pohon di hutan sub montana. Pohon besar dan sangat tinggi sangat jarang, karena perakaran. Daun-daun umumnya kecil. Herba yang umumnya ditemukan di lantai hutan termasuk jenis yang digunakan sebagai tanaman hias yaitu Begonia, Impatiens dan Lobelia.
Hutan Sub - Alpin
Hutan di zona sub alpin hanya terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan pohon-pohon kerdil, rapat dengan batang pohon yang kecil, dan lantai hutan dengan tumbuhan bawah yang jarang. Hanya ditemukan sedikit jenis vegetasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan yang beriklim ekstrim, hal ini barangkali terkait dengan kondisi tanah yang miskin hara dengan jenis tanah berbatu (litosol).
Jenis pohon yang dominan di hutan ini adalah cantigi (Vaccinium varingiaefolium), dari keluarga ERICACEAE, dan dapat dengan mudah dijumpai disepanjang jalan setapak menuju kawah. Mirip dengan famili jenis Cantigi yang asal Eropa yaitu bilberry, cantigi juga mempunyai buah berry yang bisa dimakan. Daun cantigi muda juga mempunyai warna menarik yaitu merah bersinar yang memperindah hutan pegunungan, seperti halnya pohon puspa. Warna daun muda yang merah kemungkinan merupakan upaya tumbuhan untuk melawan sinar ultraviolet yang sangat ektrim.
Bila kita jeli dalam pengamatan dan dengan keteletian kita bisa menemukan bunga putih kecil Argostemma montanum di lantai hutan hutan subpegunungan. Rasamala, yang muncul dari hutan Impatiens javanesisatas: karena kelembaban tinggi, banyak epifit yang tumbuh di pohon –pohon seperti bunga Lobelia Montana.
Bunga Edelweiss Jawa ( Anaphalis Javanica Sp) dapat kita temukan di sebagian besar di sekitar kawah Gunung. Gede dan Alun-alun Suryakencana atau di radius puncak gunung Pangrango dan di lembah Mandalawangi nya. Selain itu kita bakal melihata bentuk kurcaci pohon sub-alpine yakni tumbuhan/tanaman cantigi yang bunga dan buahnya dapat dimakan . Daun muda memiliki rasa asam dan juga dimakan.
Cantigi atau Manis Rejo (Vaccinium varingiaefolium) adalah jenis tumbuhan yang menyusun tipe ekosistem pegunungan atas dan sebagian di tipe ekosistem sub alpin, jenis tanaman ini mempunyai kenampakan merah, dan mempunyai daun yang berlilin, formasi tumbuhan ini cukup indah, akan tetapi jarang sekali dapat dilihat jenis tumbuhan ini terlihat mengumpul.
Jenis-jenis Anggrek di Gunung Gede-Pangrango
Terdapat lebih dari 200 jenis anggrek di kawasan TNGP; beberapa diantara merupakan jenis anggrek berbunga besar dan sangat indah, namun kebanyakan anggrek di TNGP merupakan jenis anggrek tanah dan kecil serta sangat sulit ditemukan. Kebanyakan anggrek pegunungan hanya tumbuh pada lingkungan yang basah dan lembab.
Trichoglottis pusilla: merupakan anggrek dengan bunga bearoma wangi, hidup di dataran rendah hutan pegunungan. Jenis ini hanya tumbuh pada ketinggian antara 1500 – 1700 m dpl. Juga ditemukan di Sumatera.
Cymbidium lancifolium: termasuk anggrek yang anggota Genus ini tersebar di Asia; Jenis-jenis anggrek dari genus ini tersebar mulai dari Indonesia sampai Jepang, dan didalam kawasan TNGP hidup di hutan hujan pegunungan rendah
Dendrobium hasseltii: Jenis anggrek yang habitatnya di ketinggian, dan nama anggrek ini ”hasseltii” merupakan nama peneliti yang menemukannnya di Gunung Pangrango.
Topografi
Kawasan Konservasi TN Gunung Gede-Pangrango terdiri dari beberapa gunung, yaitu Gunung Pangrango (3.019 m), Gede (2.958 m), Gumuruh (2.929 m), Masigit (2.500 m), Lingkung (2.100 m), Mandalawangi (2.044 m) dan beberapa gunung kecil lainnya.
Dibeberapa tempat bertopografi landai sampai datar, misalnya Alun-alun Surya kencana (50 Ha) yang terletak dikomplek Puncak Gede, Alun-alun Mandalawangi (5 Ha) di puncak Pangrango dan di komplek Danau situgunung(15 Ha). Ketinggian tempat berfariasi : mulai 800 meter sampai 3.019 meter di atas permukaan laut.
Iklim
Ada dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober dan musim penghujan dari bulan Nopember ke April.
Selama bulan Januari sampai Februari, hujan turun disertai angin yang kencang dan terjadi cukup sering, sehingga berbahaya untuk pendakian. Hujan juga turun ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGP memiliki curah hujan rata-rata pertahun 4000 mm.
Rata-rata suhu di Cibodas 23 °C, dan puncak tertinggi berada pada >3000 m dpl.
Pengelolaan Kawasan
TNGP merupakan salah satu dari 5 taman nasional yang dideklarasi oleh Pemerintah Indonesia tahun 1980, di tahun 2007 sudah 50 taman nasional dibentuk oleh Pemerintah di seluruh Indonesia. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya di Indonesia, pengelolaan kawasan TNGP merupakan tanggungjawab dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.
Secara administratif, kawasan TNGP berada di 3 kabupaten (Bogor, Cianjur dan Sukabumi) Provinsi Jawa Barat. Kantor pengelola yaitu Balai TNGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I di Selabintana, SKW II di Bogor, dan SKW III di Cianjur, dan 13 resort pengelolaan dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan hutan yang berkelanjutan.
POTENSI BIOTIK
Flora
Secara keseluruhan kawasan TN Gunung Gede Pangrango termasuk formasi hutan hujan tropis pegunungan dengan tiga asosiasi hutan yang utama yaitu asosiasi puspa, asosiasi puspa-jamuju serta sosiasi hutan cantigi. Namun demikian di samping tiga asosiasi hutan tersebut, terdapat beberapa asosiasi hutan lain yang sifatnya lokal.
Apabila dilihat dari jenis-jenis pohon yang mendominasi di setiap ketinggian tempat, maka dapat dikelompokkan menjadi zona-zona sebagai berikut:
ZONA SUB - MONTANA (800-1.400 meter) ditandai dengan tiga lapisan tajuk yang didominasi oleh rasamala (altingia excelsa) yang tinggi pohonnya dapat mencapai 60 meter dan Castanopsis aegntea, Antidesma tetrandum dan litsea Sp. Dan semak-semak (Ardisia fulginosa dan Dichera febrifuga).
Selain itu banyak jenis tumbuhan bawah, epifit dan lumut, di antaranya dapat di jumpai begonia, paku-pakuan,anggrek dan lumut merah (Sphagnum gedeanum). Salah satu yang mudah dikenali adalah jenis dari paku-pakuan (Asplenium nidus) yang berdiameter dapat mencapai 2 meter
ZONA MONTANA (1.400-2.400 meter) : memiliki beberapa jenis yang mudah dikenali yaitu: puspa (scima wallichii), jamuju (podocarpus imbricatus), dan kijebung (polyosma illifocia).
ZONA SUB - ALPIN (di atas 2.400 meter) : ditandai adanya dominasi jenis cantigi (Vaccinium varingiaefolium) dan bahkan merupakan vegetasi tunggal di daerah kawah. Tumbuhan lainnya yang terdapat di zona ini adalah bunga edelwis (anaphalis javanica) yang oleh para pencinta alam disebut bunga abadi karena bunganya separti tidak pernah layu.
Berdasarkan hasil surfey yang dilaksanakan pada tahun 199, dilaporkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Taman Nasional ini, jumlahnya makin menurun dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut. Pada zona Sub Montana terdapat 249 jenis flora, zona Montana terdapat 185 jenis dan di zona Sub Alpin hanya terdapat 36 jenis.
Fauna
Tingginya nilai keaneragaman jenis tumbuhan di TN ini disebabkan adanya curah hujan yang tinggi, sinar matahari yang cukup, keadaan topografi yang bergunung-gunung, keadaan tanahnya yang subur dan faktor lainnya yang mendukung, maka hidup dan berkembang biaklah berbagai jenis satwa. Satwa tersebut meliputi mamalia, burung (aves), serangga (insekta), binatang melata (reptilia), binatang yang hidup diair dan didarat (amphibia), dan beberapa jenis binatang air.
Burung yang hidup di TN Gede Pangrango : Terdapat sekitar 250 jenis atau lebih dari 50% jenis burung yang ada di pulau jawa . Beberapa jenis yang mudah dijumpai diantaranya adalah : elang jawa (Spizaetus bartelsi), tukung tumpuk (Megalaina corvina), burung kipas (Rhipidura phoenicura), burung kuda (Garulax rutriforn), berecet (Alcippe phychoptera), srigunting (Dicrurus remifer), sepah (Perirotus miniatus), cingcoang (Myomela diora), jarak hutan (Herpactes reinwardtii) dan cicakopi (Pomatorhinus montanus).
Beberapa jenis satwa liar tergolong langka yang ada di kawasan hutan gunung Gede Pangrango diantarany adalah : macan tutul ( Panthera pardus), anjing hutan (Ciuon palnus), trenggiling (Manis javanica), kancil (Tragulus javanicus) dan kijang (Muntiakus muntjak).
Empat primata yang kadang terdengar suaranya adalah : owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachypitechus auratus) dan kera abu-abu (Macaca fascicularis). Owa dan surili adalah satwa endemik dan dilindungi undang-undang.
Beberapa jenis kupu-kupu juga terdapat di TN Gede Pangrango. Cacing sonari, sejenis cacing besar yang panjangnya bisa mencapai 60 cm. Juga terdapat dan sering terdenger suaranya yang mendengung cukup keras.
POTENSI WISATA ALAM & PETUALANGAN /PENDAKIAN
Kegiatan wisata dan petualangan alam bebas yang dapat dilakukan antaranya adalah untuk berolahraga jalan kaki, mendaki, berkemah, memotret, menyaksikan dan menikmati keindahan alam, mengagumi gejala-gejala alam yang ada, di antara lain yaitu :
Telaga Biru: terletak 1,5 km. Dari pintu masuk cibodas. Disebut telaga biru kencana airnya dapat terlihat berwarna biru yang disebabkan oleh jenis ganggang biru yang hidup didalamnya. Warna biru akan lebih jelas terlihat apabila permukaan air telaga tersinar matahari.
Kawah Gunung Gede : Kawah Gunung Gede berjarak 8,9 km dari pintu masuk Cibodas. Sejauh 500 meter mendekati puncak, merupakan daerah yang gersang sebagai akibat letusan gunung yang pernah terjadi. Di daerah ini tidak terdapat pepohonan dan rerumputan hanya tumbuh menyebar di beberapa tempat. Kawah Gunung Gede masih aktif dan secara periodik mengeluarkan gas-gas yang berbau belerang. Terdapat tiga buah kawah dalam satu kompleks yang berdekatan,yaitu : Kawah Ratu yang paling besar,Kawah Lanang dan Kawah Wadon.
Alun-alun suryakencana : Pada
ketinggian 2.750 meter,antara Gunung Gede dan Gunung Gemuruh, terdapat
daerah datar dengan panjang 1.500 meter dan lebar 250 meter. Lokasi ini
berjarak 10,2 km dari pintu masuk Cibodas dan 6,9 km dari pintu masuk
gunung putri. Di daerah tersebut banyak ditemukan bunga edelweiss
(anaphalis javanica sp) yang betebaran memutih memenuhi luasnya
alun-alun.Dibeberapa tempat, pohon bunga edelwis dapat mencapai tinggi 4
- 8 meter. Di alun-alun Suryakencana disediakan tempat berkemah untuk
kapasitas 50 tenda.
Alun-alun Pangrango : terletak dilereng gunung Pangrango. Seperti alun-alun Suryakencana, lapangan ini banyak ditumbuhi bunga edelwis tetpi luasnya lebih kecil daripada alun-alun Suryakencana.
Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa
Javan Gibbon Center (JGC) berdiri sejak tahun 2003, berlokasi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lembaga ini merupakan kerjasama antara PHKA-Departemen Kehutanan RI dan Yayasan Owa Jawa yang didukung oleh Conservation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Universitas Indonesia dan Silvery Gibbon Project (SGP).
JGC merawat Owa Jawa dari hasil sitaan dan penyerahan sukarela dari masyarakat. Tujuan keberadaan JGC adalah untuk merehabilitasi Owa Jawa eks-peliharaan, mengembalikan kondisi fisik, kesehatan, perilaku pada masa rehabilitasi dan melepasliarkan kembali pasangan Owa Jawa yang telah siap kedalam kawasan-kawasan hutan yang sesuai berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.
Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan jenis primata arboreal yang tinggal di hutan tropis, makanannya berupa buah, daun dan serangga. Satu keluarga Owa Jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Owa jawa merupakan satwa endemik pulau Jawa. Dalam daftar satwa terancam mereka termasuk kategori kritis (IUCN,2004). Ancaman bagi mereka di dalam adalah kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan. Beberapa hasil survey perkiraan populasi mereka di alam tersisa lebih kurang 4000 individu. Populasi kecil yang tersisa di alam dan terisolasi membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan.
Sarana dan Prasarana
Fasilitas untuk para wisatawan yang senang melakukan kegiatan wisata alam di kawasan TN Gunung Gede Pangrango cukup tersedia. Di pintu masuk Cibodas terdapat Wisma Cinta Alam dan Pusat Informasi.
Jalan setapak dengan lebar antara 1 - 1,5 meter yang telah diperkeras dengan batu, menghubungkan Cibodas, Gunung Putri, Selabintana dan obyek - obyek lainnya.
AKSESIBILITAS
TN Gunung Gede Pangrango dapat dicapai melalui empat pintu masuk yaitu Cibodas dan Gunung Putri (Kabupaten Cianjur) serta Salabintana dan Situgunung (Kabupaten Sukabumi). Pintu masuk Cibodas merupakan pintu utama dan terletak dekat kantor Taman Naional. Dapat ditempuh dengan mobil; jarak dari Jakarta 100 Km atau dapat ditempuh dengan waktu 2,5 jam dan dari Bandung ditempuh selama 2 jam. Pintu masuk Gunung Putri yang agak berdekatan dengan Cibodas dan Pacet. Pintu masuk Situgunung berjarak 15 Km dari Cisaat, Sukabumi.
Sumber:http://kpa-indonesia.blogspot.com
Saya yakin sudah ratusan ribu pendaki gunung yang pernah mendaki gunung gede-pangrango. Begitu pun sudah belasan pendaki yang mengalami naas yang berakibat fatal yakni meninggal dunia di dua gunung kembar ini. Berdasarkan rekapitulasi pendakian , sejak tahun 1980 s/d 2004 tercatat sebanyak 145 ribuan pendaki yang pernah mendaki ke gunung gede-pangrango.
Namun masih sedikit pendaki gunung/penjelajah dan penggiat alam bebas yang mengenal lebih dekat bagaimanakah sesungguhnya karakteristik dari Gunung Gede-Pangrango? …Mari kita coba mengenal dan mengakrabkan diri dengan ke dua gunung ini. Karena dengan kita lebih memahami dan mengenal lebih jauh lagi tentang ke dua gunung ini akan banyak manfaatnya bagi kita semua dan bagi kelanjutan kehidupan ekologi dan ekositem secara berkesinambungan . Baik bagi keselamatan dan kenikmatan pendakian, atau untuk mendalami ilmu pengetahuan (botani, biologi, geologi, geodosi, kegunung apian atau vulkanologi dan konservasi), fotografi dll. Atau hanya untuk sekedar memperkaya wawasan individu.
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Dengan luas 21.975 hektare, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan, hanya berjarak 100 km dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGP, dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur yang bercahaya. Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti Kijang, Pelanduk, Anjing hutan, Macan tutul, Sigung, dll, serta 250 jenis burung. Kawasan ini juga merupakan habitat Owa Jawa, Surili dan Lutung dan Elang Jawa yang populasinya hampir mendekati punah.
Pohon RASAMALA
Owa JAWA
LUTUNG
ELANG JAWA
Kawasan Gunung Gede dan Pangrango merupakan kawasan yang terbasah di pulau Jawa, and sebagai konsekwensinya hutan di kawasan ini sangat kaya dengan beranekaragam jenis flora. Bulan Desember – Maret merupakan bulan terbasah, dimana hujan turun hampir setiap hari. Tetapi antara Bulan Maret sampai September merupakan musim kering/kemarau, daun-daun kering banyak berjatuhan dan potensial untuk menyebabkan kebakaran, namun kelembaban lingkungan mikro hutan dan tanah mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap hijau dan bertumbuh. Pada bagian pegunungan, temperatur udara semakin turun dan hutan sekitarnya sering ditutupi kabut, dan kelembaban udara yang rendah di daerah ini merupakan habitat ideal bagi tumbuhan pemanjat dan lumut.
Pada daerah yang lebih tinggi ketersedian dan kondisi udara semakin sedikit dan menipis, dan kelembaban makin rendah, serta ketersediaan nutrisi tanah juga sedikit. Hal ini menyebabkan keanekaragaman jenis tumbuhan semakin rendah dan struktur hutan sudah tidak lengkap, tidak ada pohon tinggi. Ahli ekologi membuat klasifikasi ekosistem hutan di TNGP kedalam 3 tipe vegetasi berdasarkan ketinggian yaitu:
Montana Bawah / sub-montana
(1,000-1,500 m d.p.l.)
Montana (1,500-2,400 m d.p.l.)
Sub - Alpin (2,400-3,019 m d.p.l)
Hutan Montana Bawah / sub - montana
Tipe vegetasi ini dapat ditemukan saat mulai memasuki kawasan TNGP. Terdapat jenis-jenis satwa dan tumbuhan pada hutan tipe ini, termasuk Owa Jawa dan si pohon raksasa Rasamala, yang merupakan jenis satwa dan tumbuhan yang habitatnya pada tipe hutan ini. Hal ini disebabkan karena tipe hutan ini mempunyai jenis vegetasi yang merupakan campuran antara vegetasi hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sehingga seringkali disebut sebagai ekosistem sub montana.
Kondisi tanah di hutan montana dataran rendah biasanya dalam, basah, dan kaya dengan bahan-bahan organik dan partikel tanah yang subur seperti tanah liat, karena itu, pohon-pohon di hutan montana tumbuh lebih besar dan tinggi. Pohon-pohon dominan di hutan montana adalah saninten, dan kayu pasang dari famili FAGACEA.
Hutan Montana
Zona ini disebut juga ”Hutan Pegunungan Atas”, berada pada ketinggian 1500 – 2400 m dpl. Ekoton antara vegetasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas biasanya sangat jelas. Ada suatu perbedaan jelas yaitu: pohon-pohon agak semakin jarang sehingga mudah melihat ke dalam hutan, karena pandangan kita tidak terhalang oleh vegetasi bawah. Pendaki yang berhenti untuk istirahat seringkali merasa lebih dingin. Kebanyakan tumbuhan yang tumbuh pada ketinggian ini merupakan jenis tumbuhan pegunungan sejati, hidup pada kondisi iklim sedang.
Tajuk pohon di hutan pegunungan biasanya memiliki ketinggian yang sama, yaitu 20 meter, percabangan pohon lebih pendek dari cabang pohon di hutan sub montana. Pohon besar dan sangat tinggi sangat jarang, karena perakaran. Daun-daun umumnya kecil. Herba yang umumnya ditemukan di lantai hutan termasuk jenis yang digunakan sebagai tanaman hias yaitu Begonia, Impatiens dan Lobelia.
Hutan Sub - Alpin
Hutan di zona sub alpin hanya terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan pohon-pohon kerdil, rapat dengan batang pohon yang kecil, dan lantai hutan dengan tumbuhan bawah yang jarang. Hanya ditemukan sedikit jenis vegetasi yang telah beradaptasi dengan lingkungan yang beriklim ekstrim, hal ini barangkali terkait dengan kondisi tanah yang miskin hara dengan jenis tanah berbatu (litosol).
Jenis pohon yang dominan di hutan ini adalah cantigi (Vaccinium varingiaefolium), dari keluarga ERICACEAE, dan dapat dengan mudah dijumpai disepanjang jalan setapak menuju kawah. Mirip dengan famili jenis Cantigi yang asal Eropa yaitu bilberry, cantigi juga mempunyai buah berry yang bisa dimakan. Daun cantigi muda juga mempunyai warna menarik yaitu merah bersinar yang memperindah hutan pegunungan, seperti halnya pohon puspa. Warna daun muda yang merah kemungkinan merupakan upaya tumbuhan untuk melawan sinar ultraviolet yang sangat ektrim.
Bila kita jeli dalam pengamatan dan dengan keteletian kita bisa menemukan bunga putih kecil Argostemma montanum di lantai hutan hutan subpegunungan. Rasamala, yang muncul dari hutan Impatiens javanesisatas: karena kelembaban tinggi, banyak epifit yang tumbuh di pohon –pohon seperti bunga Lobelia Montana.
Bunga Edelweiss Jawa ( Anaphalis Javanica Sp) dapat kita temukan di sebagian besar di sekitar kawah Gunung. Gede dan Alun-alun Suryakencana atau di radius puncak gunung Pangrango dan di lembah Mandalawangi nya. Selain itu kita bakal melihata bentuk kurcaci pohon sub-alpine yakni tumbuhan/tanaman cantigi yang bunga dan buahnya dapat dimakan . Daun muda memiliki rasa asam dan juga dimakan.
Alun-alun SURYA KENCNA
Cantigi atau Manis Rejo (Vaccinium varingiaefolium) adalah jenis tumbuhan yang menyusun tipe ekosistem pegunungan atas dan sebagian di tipe ekosistem sub alpin, jenis tanaman ini mempunyai kenampakan merah, dan mempunyai daun yang berlilin, formasi tumbuhan ini cukup indah, akan tetapi jarang sekali dapat dilihat jenis tumbuhan ini terlihat mengumpul.
Jenis-jenis Anggrek di Gunung Gede-Pangrango
Terdapat lebih dari 200 jenis anggrek di kawasan TNGP; beberapa diantara merupakan jenis anggrek berbunga besar dan sangat indah, namun kebanyakan anggrek di TNGP merupakan jenis anggrek tanah dan kecil serta sangat sulit ditemukan. Kebanyakan anggrek pegunungan hanya tumbuh pada lingkungan yang basah dan lembab.
Trichoglottis pusilla: merupakan anggrek dengan bunga bearoma wangi, hidup di dataran rendah hutan pegunungan. Jenis ini hanya tumbuh pada ketinggian antara 1500 – 1700 m dpl. Juga ditemukan di Sumatera.
Trichoglottis pusilla
Cymbidium lancifolium: termasuk anggrek yang anggota Genus ini tersebar di Asia; Jenis-jenis anggrek dari genus ini tersebar mulai dari Indonesia sampai Jepang, dan didalam kawasan TNGP hidup di hutan hujan pegunungan rendah
Cymbidium lancifolium
Dendrobium hasseltii: Jenis anggrek yang habitatnya di ketinggian, dan nama anggrek ini ”hasseltii” merupakan nama peneliti yang menemukannnya di Gunung Pangrango.
Dendrobium hasseltii
Topografi
Kawasan Konservasi TN Gunung Gede-Pangrango terdiri dari beberapa gunung, yaitu Gunung Pangrango (3.019 m), Gede (2.958 m), Gumuruh (2.929 m), Masigit (2.500 m), Lingkung (2.100 m), Mandalawangi (2.044 m) dan beberapa gunung kecil lainnya.
Dibeberapa tempat bertopografi landai sampai datar, misalnya Alun-alun Surya kencana (50 Ha) yang terletak dikomplek Puncak Gede, Alun-alun Mandalawangi (5 Ha) di puncak Pangrango dan di komplek Danau situgunung(15 Ha). Ketinggian tempat berfariasi : mulai 800 meter sampai 3.019 meter di atas permukaan laut.
Iklim
Ada dua iklim yaitu musim kemarau dari bulan Juni sampai Oktober dan musim penghujan dari bulan Nopember ke April.
Selama bulan Januari sampai Februari, hujan turun disertai angin yang kencang dan terjadi cukup sering, sehingga berbahaya untuk pendakian. Hujan juga turun ketika musim kemarau, menyebabkan kawasan TNGP memiliki curah hujan rata-rata pertahun 4000 mm.
Rata-rata suhu di Cibodas 23 °C, dan puncak tertinggi berada pada >3000 m dpl.
Pengelolaan Kawasan
TNGP merupakan salah satu dari 5 taman nasional yang dideklarasi oleh Pemerintah Indonesia tahun 1980, di tahun 2007 sudah 50 taman nasional dibentuk oleh Pemerintah di seluruh Indonesia. Seperti halnya kawasan konservasi lainnya di Indonesia, pengelolaan kawasan TNGP merupakan tanggungjawab dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan.
Secara administratif, kawasan TNGP berada di 3 kabupaten (Bogor, Cianjur dan Sukabumi) Provinsi Jawa Barat. Kantor pengelola yaitu Balai TNGP berada di Cibodas, dan dalam pengelolaannya dibagi menjadi 3 (tiga) Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I di Selabintana, SKW II di Bogor, dan SKW III di Cianjur, dan 13 resort pengelolaan dengan tugas dan fungsi melindungi dan mengamankan seluruh kawasan TNGP dalam mewujudkan pelestarian sumberdaya alam menuju pemanfaatan hutan yang berkelanjutan.
POTENSI BIOTIK
Flora
Secara keseluruhan kawasan TN Gunung Gede Pangrango termasuk formasi hutan hujan tropis pegunungan dengan tiga asosiasi hutan yang utama yaitu asosiasi puspa, asosiasi puspa-jamuju serta sosiasi hutan cantigi. Namun demikian di samping tiga asosiasi hutan tersebut, terdapat beberapa asosiasi hutan lain yang sifatnya lokal.
Apabila dilihat dari jenis-jenis pohon yang mendominasi di setiap ketinggian tempat, maka dapat dikelompokkan menjadi zona-zona sebagai berikut:
ZONA SUB - MONTANA (800-1.400 meter) ditandai dengan tiga lapisan tajuk yang didominasi oleh rasamala (altingia excelsa) yang tinggi pohonnya dapat mencapai 60 meter dan Castanopsis aegntea, Antidesma tetrandum dan litsea Sp. Dan semak-semak (Ardisia fulginosa dan Dichera febrifuga).
Selain itu banyak jenis tumbuhan bawah, epifit dan lumut, di antaranya dapat di jumpai begonia, paku-pakuan,anggrek dan lumut merah (Sphagnum gedeanum). Salah satu yang mudah dikenali adalah jenis dari paku-pakuan (Asplenium nidus) yang berdiameter dapat mencapai 2 meter
ZONA MONTANA (1.400-2.400 meter) : memiliki beberapa jenis yang mudah dikenali yaitu: puspa (scima wallichii), jamuju (podocarpus imbricatus), dan kijebung (polyosma illifocia).
ZONA SUB - ALPIN (di atas 2.400 meter) : ditandai adanya dominasi jenis cantigi (Vaccinium varingiaefolium) dan bahkan merupakan vegetasi tunggal di daerah kawah. Tumbuhan lainnya yang terdapat di zona ini adalah bunga edelwis (anaphalis javanica) yang oleh para pencinta alam disebut bunga abadi karena bunganya separti tidak pernah layu.
Berdasarkan hasil surfey yang dilaksanakan pada tahun 199, dilaporkan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan di kawasan Taman Nasional ini, jumlahnya makin menurun dengan semakin tingginya tempat dari permukaan laut. Pada zona Sub Montana terdapat 249 jenis flora, zona Montana terdapat 185 jenis dan di zona Sub Alpin hanya terdapat 36 jenis.
Fauna
Tingginya nilai keaneragaman jenis tumbuhan di TN ini disebabkan adanya curah hujan yang tinggi, sinar matahari yang cukup, keadaan topografi yang bergunung-gunung, keadaan tanahnya yang subur dan faktor lainnya yang mendukung, maka hidup dan berkembang biaklah berbagai jenis satwa. Satwa tersebut meliputi mamalia, burung (aves), serangga (insekta), binatang melata (reptilia), binatang yang hidup diair dan didarat (amphibia), dan beberapa jenis binatang air.
Burung yang hidup di TN Gede Pangrango : Terdapat sekitar 250 jenis atau lebih dari 50% jenis burung yang ada di pulau jawa . Beberapa jenis yang mudah dijumpai diantaranya adalah : elang jawa (Spizaetus bartelsi), tukung tumpuk (Megalaina corvina), burung kipas (Rhipidura phoenicura), burung kuda (Garulax rutriforn), berecet (Alcippe phychoptera), srigunting (Dicrurus remifer), sepah (Perirotus miniatus), cingcoang (Myomela diora), jarak hutan (Herpactes reinwardtii) dan cicakopi (Pomatorhinus montanus).
burung kipas (Rhipidura phoenicura)
cingcoang (Myomela
diora)
srigunting
(Dicrurus remifer)
sepah (Perirotus miniatus)
Beberapa jenis satwa liar tergolong langka yang ada di kawasan hutan gunung Gede Pangrango diantarany adalah : macan tutul ( Panthera pardus), anjing hutan (Ciuon palnus), trenggiling (Manis javanica), kancil (Tragulus javanicus) dan kijang (Muntiakus muntjak).
macan tutul (
Panthera pardus)
Empat primata yang kadang terdengar suaranya adalah : owa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Trachypitechus auratus) dan kera abu-abu (Macaca fascicularis). Owa dan surili adalah satwa endemik dan dilindungi undang-undang.
Beberapa jenis kupu-kupu juga terdapat di TN Gede Pangrango. Cacing sonari, sejenis cacing besar yang panjangnya bisa mencapai 60 cm. Juga terdapat dan sering terdenger suaranya yang mendengung cukup keras.
POTENSI WISATA ALAM & PETUALANGAN /PENDAKIAN
Kegiatan wisata dan petualangan alam bebas yang dapat dilakukan antaranya adalah untuk berolahraga jalan kaki, mendaki, berkemah, memotret, menyaksikan dan menikmati keindahan alam, mengagumi gejala-gejala alam yang ada, di antara lain yaitu :
Telaga Biru: terletak 1,5 km. Dari pintu masuk cibodas. Disebut telaga biru kencana airnya dapat terlihat berwarna biru yang disebabkan oleh jenis ganggang biru yang hidup didalamnya. Warna biru akan lebih jelas terlihat apabila permukaan air telaga tersinar matahari.
Telaga
Biru
Rawa
Gayonggong : terletak 1,8 Km Dari pintu masuk Cibodas. Rawa mengandung
belerang dengan latar belakang hutan pegunungan yang terdapat pada
ketinggian 1.400 meter itu, merupakan pemandangan unik yang eksotis
serta langka ditemui.
Rawa
Gayonggong
Air Terjun : air terjun Cibeureum
terletak 2,5 Km dari pintu masuk Cibodas. Dilokasi air terjun ini
terdapat dua buah air terjun lainnya yang lebih kecil yaitu : air terjun
cikundul dan cidendeng. Disisi sebelah kanan dari air terjun Cibeurem
terdapat limut merah (spagnum gedeanum) yang tidak dapat diketemukan di
lokasi lain. Air terjun ini merupakan air terjun tertingggi yang dapat
di kunjungi oleh wisatawan. Air terjun curug Sawer terletak 2 km dari
pintu masuk taman wisata Alam Situ Gunung. Umumnya air terjun ini
merupakan tujuan awal dari kunjungan wisatawan, baru kemudian menuju ke
telaga untuk bersantai sambil menikmati kesejukan udara dan indahnya
panorama yang ada.
air terjun Cibeureum
Air panas : terletak 5,2 km dari pintu
masuk cibodas, diketinggian 2150 m. Dpl. Tidak jauh dari tempat berkemah
Kandang Batu. Para pendaki biasanya menyempatkan diri mandi di mata air
panas tersebut sambil beristirahat, sebelum melanjutkan perjalanannya.
Air panas
Kawah Gunung Gede : Kawah Gunung Gede berjarak 8,9 km dari pintu masuk Cibodas. Sejauh 500 meter mendekati puncak, merupakan daerah yang gersang sebagai akibat letusan gunung yang pernah terjadi. Di daerah ini tidak terdapat pepohonan dan rerumputan hanya tumbuh menyebar di beberapa tempat. Kawah Gunung Gede masih aktif dan secara periodik mengeluarkan gas-gas yang berbau belerang. Terdapat tiga buah kawah dalam satu kompleks yang berdekatan,yaitu : Kawah Ratu yang paling besar,Kawah Lanang dan Kawah Wadon.
Kawah Ratu
Kawah Lanang
Kawah Wadon
Alun-alun suryakencana & tempat berkemah
Alun-alun Pangrango : terletak dilereng gunung Pangrango. Seperti alun-alun Suryakencana, lapangan ini banyak ditumbuhi bunga edelwis tetpi luasnya lebih kecil daripada alun-alun Suryakencana.
Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Owa Jawa
Javan Gibbon Center (JGC) berdiri sejak tahun 2003, berlokasi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Lembaga ini merupakan kerjasama antara PHKA-Departemen Kehutanan RI dan Yayasan Owa Jawa yang didukung oleh Conservation International Indonesia, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Universitas Indonesia dan Silvery Gibbon Project (SGP).
JGC merawat Owa Jawa dari hasil sitaan dan penyerahan sukarela dari masyarakat. Tujuan keberadaan JGC adalah untuk merehabilitasi Owa Jawa eks-peliharaan, mengembalikan kondisi fisik, kesehatan, perilaku pada masa rehabilitasi dan melepasliarkan kembali pasangan Owa Jawa yang telah siap kedalam kawasan-kawasan hutan yang sesuai berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.
Owa Jawa (Hylobates moloch) merupakan jenis primata arboreal yang tinggal di hutan tropis, makanannya berupa buah, daun dan serangga. Satu keluarga Owa Jawa umumnya terdiri dari sepasang induk dan beberapa anak yang tinggal dalam teritori mereka. Owa jawa merupakan satwa endemik pulau Jawa. Dalam daftar satwa terancam mereka termasuk kategori kritis (IUCN,2004). Ancaman bagi mereka di dalam adalah kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan untuk dijadikan satwa peliharaan. Beberapa hasil survey perkiraan populasi mereka di alam tersisa lebih kurang 4000 individu. Populasi kecil yang tersisa di alam dan terisolasi membuka peluang bagi mereka mengalami kepunahan.
Sarana dan Prasarana
Fasilitas untuk para wisatawan yang senang melakukan kegiatan wisata alam di kawasan TN Gunung Gede Pangrango cukup tersedia. Di pintu masuk Cibodas terdapat Wisma Cinta Alam dan Pusat Informasi.
Jalan setapak dengan lebar antara 1 - 1,5 meter yang telah diperkeras dengan batu, menghubungkan Cibodas, Gunung Putri, Selabintana dan obyek - obyek lainnya.
AKSESIBILITAS
TN Gunung Gede Pangrango dapat dicapai melalui empat pintu masuk yaitu Cibodas dan Gunung Putri (Kabupaten Cianjur) serta Salabintana dan Situgunung (Kabupaten Sukabumi). Pintu masuk Cibodas merupakan pintu utama dan terletak dekat kantor Taman Naional. Dapat ditempuh dengan mobil; jarak dari Jakarta 100 Km atau dapat ditempuh dengan waktu 2,5 jam dan dari Bandung ditempuh selama 2 jam. Pintu masuk Gunung Putri yang agak berdekatan dengan Cibodas dan Pacet. Pintu masuk Situgunung berjarak 15 Km dari Cisaat, Sukabumi.
Sumber:http://kpa-indonesia.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar