Karakteristik / Typical Gunung Salak
Di dalam kawasan TNGHS yang cukup luas mencakup tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi,
Potensi biologi, ekologi, dan geologi di dalam kawasan TNGHS menarik minat masyarakat untuk merambah kawasan dan melalukan perburuan liar yang merupakan isu strategis berkaitan dengan kurangnya lahan garapan sebagai pendukung kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani serta berpendidikan kurang memadai ataupun terbatasnya jenis mata pencaharian yang ada di desa. Di samping itu potensi tersebut juga diharapkan dapat dikelola oleh Pemda untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperluas pembangunan. Tujuan penelitian adalah mengamati potensi biologi,ekologi, dan geologi kawasan yang mendukung sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, baik yang terdapat di dalam kawasan maupun di daerah penyangga TNGHS melalui identifikasi karakteristik masyarakat, teknik pengelolaan lahan, tingkat pemanfaatan, dan persepsi masyarakat.
"Manusia cuma bisa menjejak puncak, tapi tak pernah bisa menaklukan gunung." (Gasten Rebuffat- The Great Alpinist/ ahli mountaineering, 1921-1985, Prancis) Tulisan ini tertera pada sebuah papan yang ditempel di sebuah pohon di jalur pendakian Gunung Salak, Jawa Barat. Kalimat ini seolah mengingatkan para pendaki untuk tidak berlaku pongah dan sombong karena telah menjejakkan kaki di puncak gunung.
Alam tak pernah takluk meski jutaan manusia telah menjamahnya. Sebaliknya, manusia yang seharusnya bersyukur karena telah diberi penghidupan oleh alam, dan diberi kesempatan menikmati ciptaan Ilahi. Bukan tanpa alasan papan tersebut dipasang di jalur pendakian Gunung Salak. Berbagai peristiwa yang terjadi di gunung yang memiliki tiga puncak ini menjadi pembuktian bahwa alam tak pernah dapat sepenuhnya ditaklukkan manusia.
Daftar panjang pendaki yang hilang, dan pesawat jatuh merupakan beberapa isyarat untuk tidak pernah meremehkan alam. Belum lagi legenda yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, raja terakhir Kerajaaan Padjadjaran.
Sebagian masyarakat Tatar Sunda meyakini Prabu Siliwangi beserta Kerajaan Padjadjaran dan prajuritnya menghilang secara misterius di Gunung Salak setelah terdesak pengaruh Islam yang disebarkan anaknya sendiri, Kian Santang.
Terlepas berbagai peristiwa yang hingga kini masih misterius itu, Gunung Salak yang terletak di perbatasan Sukabumi dan Bogor ini masih memiliki pesona dengan banyaknya air terjun alami yang seolah mengelilingi gunung ini. Terdapat Curug Cigamea, Curug Seribu, Curug Ngumpet, Curug Pangeran, Curug Nangka, Curug Luhur, dan lainnya.
Selain itu sebagai gunung api strato tipe A, Gunung Salak memiliki sebuah kawah dengan luas yang cukup besar bernama Kawah Ratu. Deru suara uap, asap yang terus mengepul, bau belerang yang menyengat, dan pepohonan yang mengering menandakan kawah yang berada di pinggang Gunung Salak ini masih aktif. Untuk menegaskan hal itu, beberapa papan dipasang oleh petugas Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai peringatan kepada pengunjung akan bahaya menghirup gas yang dikeluarkan karena dapat menyebabkan kematian.
Meski demikian, puluhan hingga ratusan orang setiap harinya mengunjungi kawah yang berada di ketinggian 1.437 mdpl ini. Sekadar untuk menikmati keindahan pemandangan dan aktifitas geologi di Kawah Ratu, atau melintasi kawah ini saat mendaki ke Puncak Salak. Bahkan, pada hari-hari tertentu seperti akhir pekan, beberapa pengunjung ada yang nekat mendirikan tenda dengan jarak sekitar 100 meter dari area kawah. Untuk sampai area Kawah Ratu yang masih berada di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, pengunjung dapat beristirahat dengan mendirikan tenda atau menyewa penginapan di Desa Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor sebelum memulai pendakian melalui Gerbang Gunung Bunder atau naik melalui gerbang di Desa Pasir Reungit.
Dengan jarak sekitar 5 km Gunung Bunder menuju Kawah Ratu dapat ditempuh sekitar 3 jam bagi yang terbiasa mendaki. Sedangkan jika melalui Pasir Reungit dengan jarak sekitar 3,6 km, Kawah Ratu dapat ditempuh sekitar 2 jam.
Sementara jika melalui Sukabumi, jalur pendakian dapat dimulai dari Bumi Perkemahan Cangkuang, Cidahu dengan jarak sekitar 4,5 km. Puncak Salak I dengan ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut (m.dpl) lebih rendah dibanding tetangganya Gunung Gede (2.958 m.dpl) atau Gunung Pangrango (3.019 m.dpl), namun Gunung Salak dikenal sebagai gunung yang memiliki karakter jalur lebih terjal dengan pepohonan yang rapat.
Hutan lebat yang menutupi tubuh gunung membuat kontur tidak mudah terlihat. Jalur yang terjal dengan dipenuhi bebatuan membuat jalur menuju Kawah Ratu sulit dilalui terutama jika hujan turun. Medan yang cukup sulit ini justru membuat Gunung Salak kerap menjadi lokasi pelatihan dan pendidikan kelompok-kelompok pecinta alam. Semua kesulitan dan cerita mengenai gunung yang namanya berasal dari kata Salaka atau perak dalam bahasa Sanskerta ini tak terasa begitu menapaki jalur pendakian.
Melalui gerbang Pasir Reungit, sepanjang jalur pendakian, pengunjung akan disuguhi hijaunya pepohonan, beningnya Sungai Cikuluwung dan suara kawanan burung penghuni Gunung Salak.
Setelah perjalanan sekitar satu jam lebih, aroma belereng mulai tercium. Bau belereng yang semakin menyengat menandakan pengunjung harus mulai menggunakan masker karena akan tiba di Kawah Mati I dan Kawah Mati II, sebelum akhirnya tiba di Kawah Ratu sekitar setengah jam kemudian. Sesampainya di Kawah Ratu, rasa lelah melewati jalanan terjal yang terkadang licin terbayar tuntas. Namun gas berbahaya yang dihasilkan membuat pengunjung tak dapat berlama-lama menikmati fenomena alam yang menakjubkan ini.
Dari Kawah Ratu, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan menuju Puncak Salak I dengan waktu tempuh sekitar 3 jam, dan kembali ke Gunung Bunder atau ke Cidahu, Sukabumi. Apapun pilihannya, pendaki harus selalu mengingat perjalanannya bukan untuk menaklukkan alam, tetapi menikmati dan mensyukuri karunia-Nya.
Karakteristik / Typical Gunung Salak
Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) sebagai suatu kawasan
pelestarian
alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan
untuk kegiatan pendidikan, penelitian,
pengembangan budidaya, rekreasi, dan pariwisata. Batasan pengertian pemanfaatan taman nasional tersebut berkaitan dengan sektor pelayanan
pengembangan budidaya, rekreasi, dan pariwisata. Batasan pengertian pemanfaatan taman nasional tersebut berkaitan dengan sektor pelayanan
jasa dan
konsep pemanfaatan sumberdaya alam yang berkesinambungan.
Penunjukan
taman nasional ini berawal dari Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992
tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 hektar sebagai Taman Nasional
Gunung Halimun (TNGH) dan Balai TNGH resmi ditetapkan sebagai salah satu Unit
Pelaksana Teknis di Departemen Kehutanan pada tanggal 23 Maret 1997.
Selanjutnya atas dasar desakan para pihak yag peduli tentang kondisi sumberdaya
alam hutan yang semakin
terancam rusak dan terdegradasi, kawasan TNGH ditambah dengan kawasan hutan
Gunung Salak, Gunung Endut, dan kawasan di sekitarnya.Kawasan hutan ini sebelumnya
berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum
Perhutani kemudian diubah
fungsinya menjadi hutan konservasi, dalam suatu kesatuan kawasan konservasi
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan No.
175/Kpts-II/2003 dengan
luas total
113.357 hektar (Suara Pembaharuan, 2002).
Di dalam kawasan TNGHS yang cukup luas mencakup tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi,
dan
Kabupaten Bogor terdapat potensi biologi, ekologi, dan geologi yang dipandang
sangat berharga dan menentukan bagi perkembangan wilayah sekitarnya. Di samping
itu terdapat pula daerah enclave, baik perkebunan maupun lahan garapan
pertanian dan pemukiman.Enclave perkebunan yang ada contohnya adalah Perkebunan
Teh Nirmala dan Cianten, sedangkan
lahan garapan pertanian umumnya berupa sawah dan ladang yang dimiliki oleh
masyarakat Kasepuhan seperti Kasepuhan Citorek.
Potensi biologi, ekologi, dan geologi di dalam kawasan TNGHS menarik minat masyarakat untuk merambah kawasan dan melalukan perburuan liar yang merupakan isu strategis berkaitan dengan kurangnya lahan garapan sebagai pendukung kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani serta berpendidikan kurang memadai ataupun terbatasnya jenis mata pencaharian yang ada di desa. Di samping itu potensi tersebut juga diharapkan dapat dikelola oleh Pemda untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan memperluas pembangunan. Tujuan penelitian adalah mengamati potensi biologi,ekologi, dan geologi kawasan yang mendukung sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, baik yang terdapat di dalam kawasan maupun di daerah penyangga TNGHS melalui identifikasi karakteristik masyarakat, teknik pengelolaan lahan, tingkat pemanfaatan, dan persepsi masyarakat.
"Manusia cuma bisa menjejak puncak, tapi tak pernah bisa menaklukan gunung." (Gasten Rebuffat- The Great Alpinist/ ahli mountaineering, 1921-1985, Prancis) Tulisan ini tertera pada sebuah papan yang ditempel di sebuah pohon di jalur pendakian Gunung Salak, Jawa Barat. Kalimat ini seolah mengingatkan para pendaki untuk tidak berlaku pongah dan sombong karena telah menjejakkan kaki di puncak gunung.
Alam tak pernah takluk meski jutaan manusia telah menjamahnya. Sebaliknya, manusia yang seharusnya bersyukur karena telah diberi penghidupan oleh alam, dan diberi kesempatan menikmati ciptaan Ilahi. Bukan tanpa alasan papan tersebut dipasang di jalur pendakian Gunung Salak. Berbagai peristiwa yang terjadi di gunung yang memiliki tiga puncak ini menjadi pembuktian bahwa alam tak pernah dapat sepenuhnya ditaklukkan manusia.
Daftar panjang pendaki yang hilang, dan pesawat jatuh merupakan beberapa isyarat untuk tidak pernah meremehkan alam. Belum lagi legenda yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, raja terakhir Kerajaaan Padjadjaran.
Sebagian masyarakat Tatar Sunda meyakini Prabu Siliwangi beserta Kerajaan Padjadjaran dan prajuritnya menghilang secara misterius di Gunung Salak setelah terdesak pengaruh Islam yang disebarkan anaknya sendiri, Kian Santang.
Terlepas berbagai peristiwa yang hingga kini masih misterius itu, Gunung Salak yang terletak di perbatasan Sukabumi dan Bogor ini masih memiliki pesona dengan banyaknya air terjun alami yang seolah mengelilingi gunung ini. Terdapat Curug Cigamea, Curug Seribu, Curug Ngumpet, Curug Pangeran, Curug Nangka, Curug Luhur, dan lainnya.
Selain itu sebagai gunung api strato tipe A, Gunung Salak memiliki sebuah kawah dengan luas yang cukup besar bernama Kawah Ratu. Deru suara uap, asap yang terus mengepul, bau belerang yang menyengat, dan pepohonan yang mengering menandakan kawah yang berada di pinggang Gunung Salak ini masih aktif. Untuk menegaskan hal itu, beberapa papan dipasang oleh petugas Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sebagai peringatan kepada pengunjung akan bahaya menghirup gas yang dikeluarkan karena dapat menyebabkan kematian.
Meski demikian, puluhan hingga ratusan orang setiap harinya mengunjungi kawah yang berada di ketinggian 1.437 mdpl ini. Sekadar untuk menikmati keindahan pemandangan dan aktifitas geologi di Kawah Ratu, atau melintasi kawah ini saat mendaki ke Puncak Salak. Bahkan, pada hari-hari tertentu seperti akhir pekan, beberapa pengunjung ada yang nekat mendirikan tenda dengan jarak sekitar 100 meter dari area kawah. Untuk sampai area Kawah Ratu yang masih berada di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, pengunjung dapat beristirahat dengan mendirikan tenda atau menyewa penginapan di Desa Gunung Bunder, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor sebelum memulai pendakian melalui Gerbang Gunung Bunder atau naik melalui gerbang di Desa Pasir Reungit.
Dengan jarak sekitar 5 km Gunung Bunder menuju Kawah Ratu dapat ditempuh sekitar 3 jam bagi yang terbiasa mendaki. Sedangkan jika melalui Pasir Reungit dengan jarak sekitar 3,6 km, Kawah Ratu dapat ditempuh sekitar 2 jam.
Sementara jika melalui Sukabumi, jalur pendakian dapat dimulai dari Bumi Perkemahan Cangkuang, Cidahu dengan jarak sekitar 4,5 km. Puncak Salak I dengan ketinggian 2.211 meter di atas permukaan laut (m.dpl) lebih rendah dibanding tetangganya Gunung Gede (2.958 m.dpl) atau Gunung Pangrango (3.019 m.dpl), namun Gunung Salak dikenal sebagai gunung yang memiliki karakter jalur lebih terjal dengan pepohonan yang rapat.
Hutan lebat yang menutupi tubuh gunung membuat kontur tidak mudah terlihat. Jalur yang terjal dengan dipenuhi bebatuan membuat jalur menuju Kawah Ratu sulit dilalui terutama jika hujan turun. Medan yang cukup sulit ini justru membuat Gunung Salak kerap menjadi lokasi pelatihan dan pendidikan kelompok-kelompok pecinta alam. Semua kesulitan dan cerita mengenai gunung yang namanya berasal dari kata Salaka atau perak dalam bahasa Sanskerta ini tak terasa begitu menapaki jalur pendakian.
Melalui gerbang Pasir Reungit, sepanjang jalur pendakian, pengunjung akan disuguhi hijaunya pepohonan, beningnya Sungai Cikuluwung dan suara kawanan burung penghuni Gunung Salak.
Setelah perjalanan sekitar satu jam lebih, aroma belereng mulai tercium. Bau belereng yang semakin menyengat menandakan pengunjung harus mulai menggunakan masker karena akan tiba di Kawah Mati I dan Kawah Mati II, sebelum akhirnya tiba di Kawah Ratu sekitar setengah jam kemudian. Sesampainya di Kawah Ratu, rasa lelah melewati jalanan terjal yang terkadang licin terbayar tuntas. Namun gas berbahaya yang dihasilkan membuat pengunjung tak dapat berlama-lama menikmati fenomena alam yang menakjubkan ini.
Dari Kawah Ratu, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan menuju Puncak Salak I dengan waktu tempuh sekitar 3 jam, dan kembali ke Gunung Bunder atau ke Cidahu, Sukabumi. Apapun pilihannya, pendaki harus selalu mengingat perjalanannya bukan untuk menaklukkan alam, tetapi menikmati dan mensyukuri karunia-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar